Cari Blog Ini

Kamis, 07 Mei 2020

Sehati Sejiwa

Bagian 1
Sehati Sejiwa

Bruk..., sepeda motor yang dikendarai Yuna ambruk. Tubuhnya terhunyung menghantam aspal.  Mesin motor masih menderu, menyeruak malam yang mulai sepi. 
Yuna terlalu lemah untuk sekedar bangkit. Kaki kirinya tertindih motor, jantungnya berdegup kencang karena syok. Pandangannya kabur, hanya terlihat dua cahaya sejajar yang makin lama makin terang dan mendekat.
Dia berusaha untuk berdiri dengan sisa-sisa tenaga, namun usahanya sia-sia. Nyeri hebat dirasakannya pada pergelangan kaki kirinya, sementara rembesan merah mulai menetes dari dagunya. 
"Mari Bu saya bantu," seseorang tiba-tiba ada di hadapannya.  
Suaranya itu terdengar tidak asing bagi Yuna.
Belum sempat Yuna mendongakkan kepala, laki-laki itu mengulurkan tangannya, Yuna pun tak ada pilihan selain menyambut tangan itu. Dengan kepayahan perempuan muda itu bangkit. Namun ketika dia hendak menopangkan berat tubuh ke kaki kiri, sakit luar biasa hampir saja membuatnya tumbang kembali. Beruntung si laki-laki itu sigap meraih tubuh Yuna.
Seketika itu Yuna terhentak. 
"Parfum ini," batinnya.
Dia menengok ke arah si penolong.
"Dodit," sebutnya. Dia pun berusaha melepaskan diri dari rengkuhan Dodit, tapi lagi-lagi sakit di kaki kirinya tak tertahankan. Dia pun kehilangan keseimbangan. sekali lagi Dodit menolongnya, dibopongnya perempuan muda itu ke tepi jalan.
"Mari bu, saya antar ke rumah sakit, jangan takut saya tidak akan mencelakakan Ibu," kata Dodit. 
"Sepertinya dia tidak mengenaliku," batin Yuna. Dia tidak bereaksi. Setelah menepi, dia tak lantas membuka helmnya, berharap Dodit tak mengetahui identitasnya. 
Dodit meminggirkan motor Yuna. Lalu mendekat keheranan.
"Bu, mau saya antar ke rumah sakit?" tanyanya. Yuna hanya menggeleng, tak berani bersuara, sungguh dia tak ingin Dodit mengenalinya. 
"Ya sudah, saya antar pulang ya," lelaki itu kembali menawarkan bantuan.
Yuna menggeleng lebih kuat.
Dodit mulai curiga, melihat gelagat perempuan di depannya itu.
Yuna sendiri seperti mati rasa meskipun darah dari dagunya sempurna mewarnai jaket yang dikenakannya.
"Ibu berdarah lho, coba dilepas dulu helmnya, saya lihat lukanya, saya dokter bu, mungkin saya bisa bantu," kali ini Dodit sedikit memaksa.
Jalanan benar-benar lengang, padahal Yuna berharap laki-laki itu segera pergi. Dia bergeming.
Dodit melempar jauh pandangannya ke angkasa.
"Kamu masih sama," tiba-tiba Dodit merubah cara bicaranya.
Yuna menelan ludah, "Dia mengenaliku?" batinnya.
"Ya, aku mengenalimu," kata Dodit seolah mendengar apa yang dipikirkan Yuna.
"Masih saja keras kepala, masih saja tak memedulikan diri sendiri," lanjutnya.
Yuna membeku. Rasa tak karuan menyeruak dari kalbunya. Dia tak bisa menampik betapa istimewa lelaki itu baginya. Ribuan kali Yuna berusaha menghilang, ribuan kali juga takdir mempertemukan keduanya. Perempuan muda itu bahkan telah menerima dirinya terikat secara sah dengan lelaki lain, lalu hijrah ke kota ini, dan takdir kembali mempertemukan keduanya. 
Bulir air mata menggantung di kelopaknya. Dia tak mau menyesali apapun yang sudah diputuskannya.
"Aku hanya mau menolongmu," tukas Dodit.
Yuna menarik napas panjang. Dia mendorong jauh perih yang menyisip tanpa permisi. Dia lalu melepas helmnya. 
Dodit kembali ke mobilnya mengambil kotak P3K, lalu dengan dingin membersihkan luka-luka Yuna. 
"Kamu mau ku antar atau kau akan menelpon suamimu," tanyanya usai menyemprotkan pereda nyeri ke kaki kiri Yuna.
Yuna masih membisu. Dia membuang mukanya. 
"Baiklah, aku pergi," Dodit berlalu.
Yuna menyeka matanya yang kemudian basah. Sekuatnya dia menyakinkan diri bahwa pertemuan itu tak berarti apa-apa.
Drrrd...drrrrd... handphone Yuna bergetar. Layarnya menyala, tulisan Hubby berkedip-kedip di sana. 
Yuna mengangkatnya, mengabari kecelakaan tunggal yang dialaminya tetapi merahasiakan pertemuannya dengan Dodit.
Selang lima belas menit suaminya datang dengan raut cemas yang tidak bisa disembunyikannya.
"Kamu ga papa, Yun?" tanyanya.
"Ga papa, Mas," jawab Yuna sembari tersenyum. 
"Kamu naik mobil, Mas yang bawa motor," sambung suaminya. Yuna mengangguk menurut. 
Yuna mencoba berdiri, hanya saja kaki kirinya benar terkilir, Suaminya pun memapahnya.
"Kalian memang berbeda," sewaktu itu Yuna terbayang bagaimana Dodit menggendongnya tadi.
Di sudut lain jalan Dodit memerhatikan suami istri itu, "Maaf aku belum bisa melupakanmu" bisiknya.
Bersambung....



Tidak ada komentar:

Posting Komentar