Wira membukakan pintu mobil untuk istrinya. Dia telah sampai lebih dulu, karena beruntung motor Yuna tak mengalami kerusakan. Dia lalu memapah istrinya masuk dan kembali keluar untuk membayar pada driver.
"Kamu tidak apa-apa? Mana saja yang luka?" tanyanya setelah keduanya duduk berhadapan di ruang tamu rumah kecil mereka.
Jemarinya membingkai wajah istri terkasih, memeriksa bagian mana yang membuat corak merah menodai jaketnya. Keningnya mengernyit melihat luka-luka itu telah dibersihkan bahkan terplester rapi.
Yuna mengusir pikiran tentang Dodit yang terus membayang. Dia tahu tak seharusnya rasa itu menyeruak. Dipandangnya lekat-lekat laki-laki di depannya. Hampir dua tahun mereka telah bersama, tapi masih banyak hal yang tak Yuna ketahui tentang suaminya. Ini kali pertama Yuna melihat Wira mengekspresikan perhatiannya.
"Tidak apa kok, Mas, sepertinya hanya dagu saja yang agak lecet," jawab Yuna.
"Kakimu?" Wira masih sangat cemas. Dia kini beralih, mengangkat kaki istrinya ke pangkuan dan mengusap-usapnya.
"Apa tidak sebaiknya kita ke klinik?" tukasnya melihat kaki istrinya bengkak dan lebam.
"Aku baik-baik saja, besok kutelpon Mak Iroh untuk memijat kakiku," Yuna meyakinkan suaminya.
"Baiklah, Siapa yang menolongmu? Mengapa aku tak melihatnya saat menjemputmu" lanjut Wira. Dia tak bisa menutupi rasa ingin tahunya.
"Oh, itu" suara Yuna terdengar bergetar,"hanya orang yang kebetulan lewat, tapi sepertinya dia tergesa jadi tak bisa menolong lebih banyak" lengkap Yuna sambil menelan ludah.
"Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padanya," balas laki-laki itu. Dia bisa menangkap ada sesuatu yang disembunyikan istrinya, namun dia menepisnya, dan berusaha percaya pada perkataannya.
Malam itu keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Tidur saling membelakangi, Wira merasakan firasat yang membuatnya tidak nyaman, sedang Yuna memejam mata tapi alih-alih tertidur dia justru membuka kotak kenangan yang lama disimpan dalam diam.
Bias kabut menyibak memori tiga putaran sempurna bumi pada matahari.
---
Yogyakarta, 2017
"Ini," dodit menyodorkan es krim cone kesukaan Yuna. Yuna tersenyum lebar.
Duduk berdampingan muda-mudi ini menikmati kesibukan jalanan Malioboro dekat komplek benteng Vredeburg sore hari. Jarang-jarang mereka bisa hangout berdua di sela-sela kesibukan Dodit menyelesaikan program co ass-nya.
"Apa ini cukup?" tanya Dodit.
"Kamu mau beliin es krim lagi?" ujar Yuna polos.
Dodit mendadak serius,"Bukan es krimnya,"
Lelaki bertubuh tegap dengan kulit gelap itu meraih tangan gadis pujaannya. Mata mereka saling bertaut. Waktu seolah berhenti, hiruk pikuk di sekeliling mereka membias, serasa hanya ada mereka berdua saja.
"Apa cukup, menemaniku hanya dalam bayangan, yang tak seorang pun tahu," Dodit menatap tajam menyelidik.
Yuna hanya mengangguk. Dia tidak mau menuntut apa-apa.
"Mengapa?" Dodit tak puas dengan jawaban Yuna.
Yuna menarik tangannya dari genggaman Dodit.
Senja sore itu menjemput mereka untuk pulang, menapaki langkah masing-masing.
Tak ada kata yang terucap kemudian.
Hanya itu.
Bersambung...
Bagian 1 Pertemuan
Bagian 3 Perpisahan yang Kupilih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar