Wira berbalik, dilihatnya istrinya sudah terlelap dan kini menghadapnya. Nampak kening Yuna mengernyit seolah mimpi buruk tengah menghias tidurnya.
Lelaki itu mengusap lembut kerutan itu, berharap mampu mengusir gelisah tidur Yuna. Dikaguminya wajah ayu istrinya. Dia menahan diri dari aura kuat perempuan di depannya. Menghabiskan ratusan malam di atas ranjang yang sama, memejam bersama hingga membuka mata.
Wira tidak akan menuntut haknya sebagai suami, sampai Yuna benar-benar membuka hati untuknya.
Wira menyibak helaian rambut yang menutupi wajah Yuna, membelai rambutnya. Sebatas itu, dia tahu Yuna sudah berusaha dengan baik menjalankan tugasnya sebagai pendamping hidupnya bahkan membantunya dengan bekerja full sebagai editor di salah satu penerbit lokal.
Kehidupan mereka pas-pasan. Wira hanya lulusan SMA. Dia tak melanjutkan pendidikannya, meski mendapat beasiswa juga. Hidup sebatang kara membuatnya tak keberatan menjaga ibu kandung dari sahabat baiknya itu. Ibu Yuna sakit strooke sementara Yuna mendapat panggilan beasiswa dan harus memulai kuliahnya.
Yuna hampir melepas kesempatan itu, namun Wira menyakinkannya dan bersumpah untuk mengurus ibu Yuna sebaik-baiknya. Dengan modal keahliannya melukis wajah, dia dapat tetap menjaga ibu Yuna 24 jam dan hidup alakadarnya.
Dia menyadari sahabatnya itu menikahinya tanpa ada cinta. Pernikahan mereka adalah wasiat terakhir ibu Yuna. Ibunya meninggal empat tahun setelah Yuna berangkat ke Yogyakarta. Bersyukur Yuna ada di samping ibunya saat mengembus nafas terakhir. Dia pun mendengar langsung wasiat itu meski kata terbata yang diucap dengan sisa daya sang ibunda.
Yuna sangat terpukul.
Kehilangan satu-satunya orang tua yang telah membesarkannya, menghempas separuh jiwanya.
Wira hadir menguatkannya, memotivasi Yuna untuk menyelesaikan studinya. Dia sebenarnya meminta Yuna tak terlalu menghiraukan permintaan terakhir ibunya, mengingat meski bersahabat Yuna tak banyak tahu tentang dirinya. Banyak hal yang tak bisa dibaginya dengan satu-satunya sahabatnya itu. Meski dia tak menampik telah jatuh cinta pada Yuna sejak duduk di bangku SMA. Di luar dugaan setahun kemudian Yuna memenuhi janji untuk menunaikan wasiat ibunya.
Drrddd...drrddd...sebuah pesan diterima Wira malam itu.
Foto istrinya sedang diobati sampai padanya.
"Dodit!" dia terperangah mengetahui laki-laki yang sudah menolong istrinya.
Api cemburu membakarnya, laki-laki yang menjadi tamu tak diundang di hari pernikahannya yang membersihkan dan menyematkan plester di wajah istrinya. Ribuan kilo telah ditempuhnya untuk menjauhkan Yuna darinya, bagaimana dia ada di kota itu.
Wira terduduk, napasnya memburu.
"Apa yang sedang kau lakukan disini?" geramnya.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar